Social Icons

Pages

Senin, 18 November 2013

Musik dan Tari Maluku


A. Musik
Alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang memiliki fungsi yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama lain hingga melahirkan warna musik yang sangat khas. Namun musik ini didominasi oleh alat musik Tifa. Terdiri dari Tifa yaitu, Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas, ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang, yang merupakan serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja, dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit Kerang).

Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian seperti halnya terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat ketika musik-musik Maluku dari dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas dimana terdapat penggunaan alat musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi tarian tradisional seperti Katreji.

Musik lainnya ialah Sawat. Sawat adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling, yang mencirikan alat musik gurun pasir.

Diluar daripada beragamnya alat musik, orang Maluku terkenal handal dalam bernyanyi. Sejak dahulupun, mereka sudah sering bernyanyi dalam mengiringi tari-tarian tradisional. Tak ayal bila sekarang, terdapat banyak penyanyi terkenal yang lahir dari kepulauan ini. Sebut saja para legenda seperti Broery Pesoelima dan Harvey Malaihollo. Belum lagi para penyanyi kaliber dunia lainnya seperti Daniel Sahuleka, Ruth Sahanaya, Monica Akihary, Eric Papilaya, Danjil Tuhumena, Romagna Sasabone, Harvey Malaihollo serta penyanyi-penyanyi muda berbakat seperti Glen Fredly, Ello Tahitu dan Moluccas.


B. Tarian 
Tari yang terkenal adalah tari Cakalele yang menggambarkan Tari perang. Tari ini biasanya diperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai). Ada pula Tarian lain seperti Saureka-Reka yang menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan oleh enam orang gadis ini sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil diiringi irama musik yang sangat menarik.

Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik. Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku. Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme. Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang.

Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan, membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti setiap orang baik tua maupun muda.

Pukul Sapu Lidi dan Bambu Gila

Beberapa pihak telah terus serta berusaha melestarikan adat istiadat, seni dan budaya Masyarat Maluku karena sejak sebelum RI merdeka sampai zaman globalisasi seperti sekarang ini, masyarakat di seluruh negeri khususnya di Maluku masih terdapat acara-acara tradisi yang terus hidup dan diselenggarakan walaupun tidak seperti di daerah-daerah lain yang sudah menjadi acara tradisisional berstandar internasional yang mulanya dari nasional. Beberapa kesenian dan kebudayaan Maluku kerap menjadi simbol pada setiap pembukaan suatu acara, namun kesenian Maluku ini terbilang belum banyak diketahui masyarakat. Sehingga melalui beberapa lembaga elektronik, Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Adat Maluku (LEPPA MALUKU) berusaha semaksimal mungkin untuk memperlihatkan, mengenalkan, dan mengembangkan adat istiadat serta seni dan budaya Maluku dan provinsi-provinsi lain di seluruh Indonesia. 


Salah satu acara tradisi yang masih dan terus diselenggarakan adalah "Pukul Sapu Lidi", yang dilaksanakan oleh Raja serta masyarakat Negeri Morella dan Negeri Mamala di Ambon - Maluku, dimana acara tersebut diadakan pada setiap tujuh hari seusai hari besar Idul Fitri, dimana ciri khas acara tersebut yaitu "pukul sapu lidi aren" ke tubuh lawan satu dengan lainnya, dengan tidak boleh mengenai muka dan anggota-anggota vital tubuh lainnya.


Acara tradisi "Pukul Sapu Lidi" ini sudah berjalan sejak beberapa ratus tahun yang lalu di Negeri Morella dan Negeri Mamala, sehingga hampir seluruh masyarakat di sekitar Pulau Ambon maupun wisatawan asing mengetahui acara tradisi tersebut pasti padat menghadiri dan menyaksikan acara tradisi tersebut, demikian pula dengan tradisi "Bambu Gila" yang sangat dikenal oleh masyarakat Maluku maupun masyarakat daerah lain dimana tradisi ini memang berasal dari Maluku, namun masih banyak kesenian Maluku lain yang belum dikenal masyarakat.

Tarian Maluku Tenggara

Musik Bambu Hitada


A. Asal Usul
Kebudayaan merupakan hasil interaksi antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan alam dimana mereka hidup. Oleh karena pola-pola interaksi yang terjadi berbeda, maka kebudayaan yang dihasilkan berbeda-beda dan mempunyai keunikan masing-masing. Salah satu kebudayaan yang cukup unik tersebut adalah Musik Bambu Hitada. Musik tradisional ini merupakan salah satu kesenian tradisional Masyarakat Halmahera, Maluku Utara.

Menurut Tengku Ryo, musik tradisional lahir dari proses panjang interaksi manusia dengan alam. Oleh karena alam yang menjadi sumper inspirasi berbeda-beda, maka musik yang dihasilkannya pun berbeda-beda, tidak hanya pada bunyi-bunyiannya, tetapi juga pada alat musik yang digunakannya. Lebih lanjut, Tengku Ryo mengatakan bahwa musik tradisional tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga digunakan oleh masyarakat yang memegang teguh tradisi untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka berkomunikasi dengan Tuhan melalui musik dan nyanyian.

Pendapat Tengku Ryo diatas dapat kita gunakan untuk membaca sejarah munculnya kesenian tradisional, seperti halnya Muaik Bambu Hitada yang kali ini kita jadikan sebagai topik pembahasan. Bambu bagi masyarakat Halmahera, tidak hanya berfungsi untuk menjadi bahan baku pembuatan rumah, pagar, tiang, dipan, rakit sungai, dan permainan bambu gila, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk sebagai alat musik. Kesenian dengan bambu sebagai peralatan utamanya oleh masyarakat Halmahera disebut dengan Musik Bambu Hitada atau Hitadi.

Bagi masyarakat Halmahera, Musik Bambu Hitada yang merupakan hasil dari kreativitas tidak saja berfungsi hanya untuk hiburan masyarakat, tetapi juga untuk kelengkapan upacara, seperti upacara perkawinan dan syukuran hasil panen pertanian. Seiring perkembangan zaman, dan semakin gencarnya musik-musik modern memasuki relung-relung kehidupan masyarakat desa, musik tradisional seperti halnya Musik Bambu Hitada, semakin tersisihkan. Selain itu, fungsi musik tradisional ini juga mengalami reduksi. Dari musik sakral-profan, mnejadi sengaja untuk musik profan yang diproduksi hanya untuk kepentingan upacara. Jika pada awalnya Musik Bambu Hitada hanya ada di ranah sakral-profan, kini mengalami reduksi fungsi sehingga hanya terdapat di ranah profan.

Kondisi ini harus disikapi dengan arif dan bijaksana oleh segenap stage holder agar musik tradisional seperti Musik Bambu Hitada, tidak musnah tergilas oleh musik-musik modern yang lebih canggih dan kehilangan fungsi tradisi-tradisionalnya. Menurut salah seorang ahli, ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan Musik Bambu Hitada.

Pertama, perlu ditanamkan rasa memiliki masyarakat, khususnya anak-anak, terhadap Musik Bambu Hitada. Sejak dini anak-anak harus terbiasa untuk diajarkan tidak hanya tentang bagaimana cara membuat dan memainkan Musik Bambu Hitada, tetapi juga diajarkan bagaimana kandungannya.

Kedua, dengan melakukan pengembangan Musik Hitada sehingga dapat diterima oleh masyarakat namun tetap mengandung nilai-nilai lokal. Munculmya kelompok-kelompok Musik Bambu Hitada merupakan fenomena positif terhadap perkembangan musik ini. Namun pengembangan harus dilakukan dengan hati-hati, agar Musik Bambu Hitada tidak kehilangan ruhnya.

Ketiga, mengembangkan dan mengemas Musik-musik Hitada menjadi paket-paket wisata. Dengan cara ini, Musik Bambu Hitada menjadi penopang kebutuhan ekonomi bagi para pelestarinya. Agar mampu menjadi paket-paket wisata yang menarik, maka pemerintah harus mampu untuk memfasilitasi masyarakat untuk mengasah kemampuan memainkan alat Musik Hitada, serta kemampuan manajerial pengelolaan kelompok musik.

B. Peralatan
Untuk memainkan musik Hitada, alat musik yang diperlukan antara lain:
a. Ruas bambu. Sebagaimana namanya, maka peralatan utama Musik Hitada adalah batangam bambu. Batangan bambu yang digunakan biasanya hanya terdiri atas dua ruas dan panjangnya tidak lebih dari 1,75 m. Biasanya batangan bambu ini sudah dilubangi sehingga dapat menghsilkan nada tone. Agar dapat menghasilkan nada tone yang berbeda-beda, maka ukuran bambu baik panjangnya maupun besarnya juga berbeda-beda. Agar permukaan bambu dapat menarik dan indah, dapat dicat dengan warna-warni.            

b. Cikir. Alat musik ini terbuat dari tempurung atau batok kelapa yang masih utuh. Di dalam batok kelapa tersebut biasanya diisi dengan kerikil bulat atau biji kacang hijau kering. Alat musik ini biasanya juga dicat dengan warna-warni.

       
c. Beberapa buah cuk. Alat ini berupa beberapa buah gitar kecil yang dibuat sendiri dan dicat warna-warni.

d. Satu atau dua buah biola tradisional. Seperti halnya Bambu Hitada, Cikir, dan Juk, biola tradisional ini juga dicat warna-warni.


e. Karung goni. Alat ini dibutuhkan jika Musik Bambu Hitada dimainkan di atas ubin. Dengan kata lain, karung goni dipakai untuk ubin dan batang bambu tidak mudah rusak ketika dibenturkan. 

C. Pemain
Satu grup kelompok Musik Bambu Hitada biasanya beranggotakan lima sampai dengan tiga belas orang. Semakin banyak orang, semakin semarak pula suara yang dihasilkan. Biasanya, personel musik ini seluruhnya adalah laki-laki. Jika pun ada perempuan, biasanya dijadikan vokalis, bukan pemain alat musik.


Tari Cakalele

Tari Cakalele merupakan seni tari perang khas Maluku yang biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu agung atau dalam upacara adat, sehingga Tari Cakalele disebut sebagai tari kebesaran oleh masyarakat Maluku. Tari Cakalele biasanya dibawakan oleh 30 orang penari yang terdiri dari wanita dan laki-laki. Kostum penari laki-laki lebih dominan dengan warna kuning.

Sebagai tarian perang, tentu saja dalam membawakan Tari Cakalele penari membawa alat perang.Penari laki-laki biasanya membawa parang di tangan kanannya dan tameng di tangan kiri. Sedangkan untuk penari wanita, mereka mengenakan pakaian warna putih dengan membawa sapu tangan di kedua tangannya.


Alat musik yang mengiringi Tari Cakalele adalah alat musik tifa, drum, flute, keloko, fu, totoruga, toto buang, dan bia. Sebagai tarian kebesaran masyarakat Maluku, tari ini mengandung banyak makna. Diantaranya adalah pemakaian warna merah yang mengandung makna kepahlawanan dan keberanian masyarakat Maluku dalam menghadapi perang (melawan Belanda saat itu) untuk mempertahankan tanah dan negeri addat Maluku. Pemakaian parang dalam tari Cakalele melambangkan harga diri dan martabat masyarakat Maluku yang selalu di hati dan akan dijaga hingga mati. Serta tameng yang melambangkan protes masyarakat Maluku yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah.

Ketika Tari Cakalele ditampilkan, terkadang masyarakat Maluku percaya bahwa arwah leluhur masuk ke dalam raga para penari, dan kehadiran arwah leluhur tersebut biasanya hanya dapat diasakan oleh penduduk asli Maluku (Suku Alifuru, Suku Furu-Aru, Suku Buru, dan Suku Rana).